loading

SUFI

Adab


 “Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab yang baik”
 
Dalam ajaran thariqat Sufi, adal“Yang terpenting bukannya tercapainya apa yang engkau cari, tetapi yang penting adalah engkau dilimpahi rizki adab yang baik”ah terwujudnya apa yang diinginkan (sukses), tetapi lebih penting dari itu semua kita dikaruniai adab yang bagus. Baik adab dengan Allah, adab dengan Rasulullah saw, adab dengan para Syeikh, para Ulama, adab dengan sahabat, keluarga, anak dan isteri, dan adan dengan sesama makhluk Allah Ta’ala.

Apa yang ada di sisi Allah swt, tidak bisa diraih dengan berbagai upaya sebab akibat, namun kita harus mewujudkan adab yang baik di hadapanNya, karena dengan adab itulah ubudiyah akan terwujud. Allah swt, berfirman: “Agar Allah menguji mereka, manakah diantara mereka yang terbaik amalnya.” (Al-Kahfi: 7), Allah tidak menyebutkan bahwa yang terbaik itu adalah yang terbanyak suksesnya, juga bukan yang terbaik adalah raihan besarnya.

Rasulullah saw, bersabda: “Taqwalah kepada Allah dimana pun engkau berada, dan ikutilah keburukan itu dengan kebajikan, sehingga keburukan terhapus. Dan bergaullah dengan sesama manusia dengan akhlak yang baik.” (Hr. Imam Ahmad, dan At-Tirmidzy).

Seluruh proses adab itu adalah menuju keserasian dengan sifat-sifatNya, dan inilah yang disebutkan selanjutnya oleh Ibnu Athaillah:
“Tak ada yang lebih penting untuk anda cari disbanding rasa terdesak, dan tidak ada yang lebih mempercepat anugerah padamu ketimbang rasa hina dan rasa faqir padaNya.”

Sikap terdesak, hina, fakir, itulah yang membuat anda terus kembali kepada Allah swt tanpa sedikit pun faktor yang menyebabkan rasa tersebut muncul. Dan sebaik-baik waktu tentu saja, – sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Atyhaillah dalam Al-Hikam pula – adalah waktu dimana anda menyaksikan sifat butuh anda kepada Allah, dan dikembalikan pada wujud hinamu di hadapanNya.
Para sufi sering bersyair:

Adab sang hamba adalah rasa hinanya
Sang hamba  tak pernah meninggalkan adab
Sang hamba jika sempurna rasa hinanya
Sang hamba meraih cinta dan kedekatannya.

Hajat manusia bertingkat-tingkat; Ada hajat dunianya, ada hajat akhiratnya, ada hajat meraih anugerahNya, ada hajat hanya kepada Allah swt, saja.
Tentu hajat tertinggi adalah menuju dan wushul kepada Allah Ta’ala, dan itu semua harus diraih dengan rasa butuh yang sangat, rasa hina dan fakir. Kepada Allah ta’ala.
Pernah dikatakan kepada Abu Yazid, “Pekerjaanmu senantiasa dipenuhi dengan rasa bakti, bila engkau menghendakiKu maka engkau harus datang dengan rasa hina dan butuh.”

Diantara makna berguna dari rasa butuh itu adalah:
1) Rasa berpaling dari makhluk Allah Ta’ala secara total,
2) Menghadap Allah dengan total pula,
3) Sang hamba berhenti di batasNya tanpa membuat pengakuan sedikit pun.

Tiga hal yang merupakan jumlah kebajikan dan kesempurnaan.



*****


Tokoh sufi 

Imam Al-Ghazali



KEDENGKIAN

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya dengki (hasad) itu memakan kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar.” Beliau juga bersabda, “Ada tiga perkara dimana tiada seorang pun yang dapat terlepas darinya, yaitu prasangka, rasa sial dan dengki. Dan aku akan memberikan jalan keluar bagimu dari semua itu, yaitu apabila timbul pada dirimu prasangka, janganlah dinyatakan, dan bila timbul di hatimu rasa kecewa, jangan cepat dienyahkan, dan bila timbul di hatimu rasa dengki, janganlah diperturutkan!”

Sabdanya pula, “Sesungguhnya telah mengalir kepada kalian penyakit ummat sebelum kalian, yaitu rasa dengki dan permusuhan. ; Sesungguhnya permusuhan itu dapat merusak segalanya.”
Di dalam Hadis Qudsi disebutkan, bahwa Nabi Zakariya as. berkata, “Sesungguhnya Allah swt. telah berfirman, ‘Orang yang dengki itu musuh nikmat-nikmat-Ku, tidak setuju kepada ketentuan-ketentuanKu dun tidak rela terhadap pembagian-pembagianku yang Kubagikan kepada semua hamba-Ku’.”
Kedengkian berarti menginginkan hilangnya karunia dan seseorang atau menginginkan turunnya musibah atas diri orang lain. Ini haram hukumnya. Tetapi, jika merasa iri dan ingin meniru seperti orang lain tanpa
menginginkan hilangnya karunia dan diri orang tersebut atau turunnya musibah kepadanya, hal ini dinamakan persaingan sehat (munafasah). Dan hal seperti ini tidak dilarang oleh agama. Atau boleh saja mengharapkan hilangnya karunia dan seseorang, jika ternyata karunia tersebut dipergunakan hanya untuk berfoya-foya dan berbuat durhaka kepada Allah swt. Namun apabila kemaksiatan telah hilang, ia tidak menginginkan hilangnya kenikmatan dari orang tersebut.
Sebab-sebab timbulnya kedengkian, adakalanya merasa sombong bermusuhan dan karena dirinya memang kotor (khabatsun nafs), karena munculnya kikir diri, agar pihak lain tidak mendapat nikmat Allah, tanpa tujuan yang benar.

Terapi Kedengkian
ungguh, hasud itu merupakan penyakit hati yang paling kronis, dan hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Dari segi ilmu kita harus menyadari bahwa kedengkian hanyalah akan merugikan diri sendiri, dan sedikit pun tidak akan merugikan orang yang kita benci, bahkan justru sebaliknya akan semakin menguntungkannya. Mengapa merugikan? Coba kita renungkan! Kebaikan kita terhapus dan kita dihadapkan kepada murka Allah oleh karena benci atas ketentuan-Nya dalam hal pembagian nikmat kepada hamba-Nya. Ini merupakan kerugian dan bahaya terhadap kehidupan agamanya. Sedang bahaya duniawi, setiap hari kita akan dirundung kegelisahan, karena seseorang yang kita anggap sebagai rival itu, yang kita inginkan kehancurannya, ternyata justru semakin jaya. Demikian pula musibah yang kita harapkan turun kepadanya, ternyata justru menimpa diri kita berikut sejumlah kesedihan dan kegelisahan.

Hal ini jelas menguntungkan pihak yang dihasud. Karena sesungguhnya karunia itu tidak akan musnah dengan rasa dengki kita, tetapi justru semakin dilipatgandakan kebaikan-kebaikannya. Sebab, setiap waktu kebaikan dari seorang pendengki itu akan dipindahkan pada catatan kebaikan orang yang didengkinya, sehingga akhirnya pendengki itu tidak mempunyai simpanan kebaikan sama sekali dan akhirnya merugi. Apalagi jika kedengkian itu disertai dengan cacian, jelas pihak yang didengki termasuk orang yang dizalimi, karena pendengki menginginkan agar pihak yang didengki kehilangan nikmat dunia, maka kelak di akhirat yang didengki justru mendapat nikmat akhirat dari perbuatan pendengki. Dalam kaitan ini pendengki jelas mendapatkan siksa dunia dan akhirat.

Orang yang dengki itu ibarat orang yang melempar batu pada musuh dan tidak mengenai sasaran, tetapi justru memantul mengenai rnatanya sendiri hingga buta. Perselingkuhan iblis semakin kokoh di sini. Karenanya, ia kehilangan nikmat dan ridha terhadap qadha’ Allah swt. Padahal jika ia ridha akan memperoleh pahala. Apalagi jika dengki itu sasarannya adalah ilmu dan wara’. Maka, bagi pecinta ilmu, Pahalanya semakin besar.

Adapun terapi amaliah, harus mengetahui dan menyadari hukum dengki serta kata-kata dan perilaku yang menjurus pada perbuatan itu, ia mengamalkan sebaliknya, bahwa yang didengki itu patut dipuji perlu ikut gembira jika kawannya itu mendapat nikmat. Sehingga yang didengki justru menjadi teman, rasa dengki jadi hilang, bahkan ia bersih dan dosa dengan kepedihannya.
Allah swt. berfirman:
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Q.s. Fushshilat: 34).

Barangkali Anda tidak berkenan menyamakan antara musuh dan teman Anda. Bahkan Anda benci bila teman dapat bencana, tapi tidak jika menimpa musuh. Anda juga senang jika nikmat mencurah pada teman, tidak pada musuh. Sebenarnya, Anda tidak dipaksa pada hal- hal yang Anda tidak mampu. Kalau Anda tidak mampu melakukan sikap sama antara musuh dan kawan, Anda bisa bebas dan dosa dengan dua cara:
  1. Jangan menampakkan kedengkian terhadap musuh melalui ucapan, gerakan fisik, dan upaya-upaya bebas Anda. Kalau perlu perlakuan sebaliknya, dan tindakan semua itu.
  2. Anda tidak menyukai pada diri Anda sendiri jika muncul rasa senang apabila nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya musnah.
Manakala rasa tidak suka tidak diiringi motivasi agama, atas hilangnya nikmat pada diri orang lain, secara naluriah Anda tidak bisa lepas dan dosa. Anda pun tidak mampu mengubah watak tersebut. Ketidakmampuan itu terjadi dalam beberapa kondisi.
Tanda-tanda ketidaksukaan, apabila Anda mampu menghilangkan nikmat tersebut, Anda tidak disodori untuk menghilangkan, sementara Anda senang jika nikmat itu hilang. Tetapi jika mampu menolong agar nikmat itu langgeng atau bertambah, namun Anda melakukannya dengan perasaan enggan. Ini merupakan tanda ketidaksukaan.

Jika Anda seperti itu, Anda tidak berdosa terhadap hal-hal yang berkaitan dengan naluri Anda. Naluri itu berada dalam keadaan tunduk bagi yang lelap di hadapan Allah, yang tidak bisa lagi memandang dunia dan makhluk. Bahkan orang yang mendapat nikmat seandainya pun harus di neraka, nikmat itu tidak berarti. Jika di surga, maka kaitan mana suatu nikrnat bisa memasukkannya ke surga? Malah dia melihat semua makhluk adalah hamba Allah. Dia mencinti mereka karena mereka adalah hamba yang dicintai-Nya. Dia sangat senang bila pengaruh nikmat itu tampak pada hamba-Nya. Dan Situasi seperti ini sangat langka, karena tidak masuk
kategori taklif.

*****


KH. Abdul Hamid 
Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur." Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya. Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut, namun penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah," katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu," katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. "Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang "egoistis", dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah," desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.

===========

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
 “Sepanjang anda menuntut balasan atas amal anda, maka anda pun dituntut agar benar dalam amaliyah itu sendiri. Maka cukuplah bagi orang yang masih ragu atas
 balasan Allah, bahwa ia dapatkan keselamatan dari siksa.”

Apabila Allah swt,  hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu.
Yakni, Allah menciptkana kemampuan untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.
Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.
Disinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya kepadamu.”
Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.
Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berartri, karena sesungguhnya buila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.
Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan disanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

*****

Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy

  1. Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
  2. Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.
  3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.
  4. Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
  5. Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
  6. Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
  7. Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.
  8. Siapa jua yang menziarahi kami tanpa memperolehi faedah yang mereka perlukan dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang ingin mendengar daripada kami, kami tidak mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan. Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa menganggapnya remeh, akan diberikan tambahan. Siapa pula yang tidak dapat menerima apa yang telah diberikan di sini, tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di mana-mana pun jua tempatnya.

    Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia telah berkata, “Apalah gunanya benda ini? Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan dirham!”.
  9. Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah benar-benar sealiran dengan usaha tarekat ini, dia boleh berkomuniksai dengan para masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri, menempuh jarak masa dan tempat.
  10. Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara mengajar dan para murid, membentuk rupa satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada pergerakan padu dari tangan itu (yakni pergerakan tangan sebagai satu entitas, sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu).

*****

Jangan Pakai Jubah Ilahi

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Allah mencegahmu untuk mengaku-aku hal-hal yang tidak layak bagi para makhluk. Apakah Allah membolehkan padamu untuk mengaku-aku sifatNya sedangkan Dia adalah Rabbul ‘Alamin?”

Syeikh Zarruq ra menegaskan: Tampilnya Sifat Allah padamu, dan penghiasan Sifat itu padamu bersamaNya adalah kesempurnaan yang layak bagimu, sehingga anda menjadi kaya bersama Allah, mulia bersama Allah, kuasa bersama Allah, kuat bersama Allah swt, hingga anda menjadi “Bismillah” dengan Nama Allah dari dirimu berselaras dengan “Kun” dari Allah, sehingga anda tidak berkehendak sedikit pun melainkan terjadi. Anda tidak butuh pada sesuatu dan tidak terhina oleh sesuatu dan tidak karena sesuatu. Anda tidak lemah karena sesuatu dan tidak berdaya karena sesuatu, bahkan anda mampu atas segala sesuatu bersama Tuhanmu, merasa cukup dengan Allah jauh dari cukup terhadap segalanya, mulia bersama Allah swt, dalam segalanya, kuat bersama Allah di sisi segalanya, sehingga anda pun tidak punya peluang sedikit pun untuk mengaku-aku (mengklaim) semuanya itu.

Justru semuanya itu untuk menguatkan diri anda agar kembali pada sifat asli anda, dan bangkit bersamaNya. Sifat anda itu adalah fakir, hina, tak berdaya dan lemah. Karena yang tampak pada diri anda hanyalah telanjang simbolis, dan yang simbolis itu secara hakiki tidak ada. Maka sesudah niscaya, anda harus terus menerus merasa hina dan butuh kepada Allah swt dalam segala upaya dan perilaku anda. Fahamilah semua itu.

Dalam pencegahan Allah swt, di atas, ada sesuatu yang terjadi secara syar’y, secara harga diri, dan hikmah. Maka diharamkan bagi seseorang untuk mengklaim milik orang lain, karena itu secara harga diri dan jiwa, sangat tidak layak, sehingga menimbulkan kecemburuan luar biasa.

Rasulullah saw, bersabda:
“Tak ada yang lebih cemburu ketimbang Allah.”

Kecemburuan itu dalam HakNya menimbulkan pencegahan, berupa hak atas sifatNya. Dalam hadits Qudsi disebutkan:
“Allah swt, berfirman: Kebesaran itu adalah pakaianKu dan Kesombongan itu adalah BajuKu, siapa yang melepas dariKu atas keduanya, maka Aku lempar ia ke neraka…”

Karena dua sifat itu adalah Sifat khusus  bagi Allah Ta’ala. Jika ada yang memakainya, berarti seperti merampas pakaian orang lain.

*****


KISAH SUFI ABU YAZID AL-BUSTHAMI*

Abu Yazid Thaifur bin Isa, dilahirkan di kota Busthami Kurasan Persia pada tahun 188 H dan wafat di Busthami pada tahun 261 H/ 874 M, makamnya berjajar dengan Al-Hujwiri, Nashir dan Yaqut.

Diantaranya dari sekian gurunya ada yang bernama Imam Ja’far dan Abu Ali dari Sind, beliau (Abu Yazid Al-Busthami) pernah berkata bahwa : “Berbahagialah orang yang dapat menghimpun cita-citanya menjadi satu yaitu semata-mata hanya kepada Allah, hati orang itu tidak akan terganggu dengan apa yang dilihat oleh mata dan apa yang didengar oleh telinga dunia ini, barang siapa mengenal Allah maka sesungguhnya ia telah zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu akan dirinya”.

Kebiasaan Abu Yazid ialah apabila akan masuk ke mesjid, maka ia akan terpaku lama di depan pintu sambil menangis. Dan pada suatu ketika adalah seseorang yang sempat berkata kepadanya, “Kenapa engkau selalu berbuat demikian sambil lama menangis ?” Maka ia menjawab bahwa dirinya merasa lebih kotor dari pada kotornya seorang wanita yang sedang datang bulan dan ia amat khawatir mesjid yang sangat suci itu jika dimasukinya akan berubah mejadi kotor karena kekotoran dosa dirinya.

Pada suatu hari Abu Yazid berjalan di suatu gang sempit dan berpapasan dengan seekor anjing, beliau tarik sedikit ke atas ujung jubahnya dengan maksud agar tidak tersentuh dengan anjing yang lewat di bawahnya tersebut. Tiba-tiba anjing itupun berkata seperti halnya manusia : “Jika aku dalam keadaan kering dan tersenggol dengan jubahmu maka itu berarti tidak akan najis dan andaikata aku dalam keadaan basah kemudian tersenggol jubahmu yang mengakibatkan najisnya jubahmu, maka pakaianmu tersebut toh masih dapat kamu cuci dengan air hingga benar-benar suci, tapi renungkanlah baik-baik, najis benci yang ada pada hatimu terhadap diriku itu tidak akan dapat kamu basuh dengan air tujuh sungai sekalipun, sebab dosa batin adalah sangat sukar cara untuk membersihkannya.”

Seraya, Abu Yazid pun menangis dan meratapi kesalahan dirinya sambil berkata : “Wahai anjing, kamu ini sangat bijak dan luar biasa maka ku mohon ikutlah aku untuk tinggal bersamaku yang untuk selanjutnya akan aku jadikan hewan kesayanganku dan aka aku sayangi sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri?”

Anjing pun berkata kepada Abu Yazid : “Tidak, saya tidak mau berkumpul dan tinggal dengan orang yang sudah merendahkan diriku sebab kita berdua memang beda takdirnya, aku dihidupkan untuk di hina oleh seisi dunia sedang anda hidup dipuji seisi dunia, meski demikian dalam kehinaanku selama ini aku tidak pernah menyimpan makanan untuk besok pagi karena takut kelaparan, tetapi anda yang punya akal dan pikiran untuk mencari nafkah tetapi masih menyimpan makanan untuk cadangan berbulan-bulan dikarenakan takut kelaparan yang berarti secara tidak langsung anda tidak percaya adanya pemberian rizqi, qadla dan takdir Tuhan!”

Dalam peristiwa tersebut Abu Yazid seketika menagis sedih, sendu dan lama sekali, beliau lembur dalam memikirkan akan kebenaran sindiran si anjing yang kotor itu sambil bergumam, menyimpulkan sendiri bahwa : “Kalau anjing saja dapat menolak untuk berkumpul denganku jadi bagaimana mungkin jika aku berpikiran ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT zat yang maha suci, untuk berkumpul dengan-Nya?”

Di suatu peristiwa yang lain datanglah seorang tamu jauh ke rumahnya dan apabila dia telah usai mengucap salam dan dijawabnya dari dalam rumah maka Abu Yazidpun keluar rumah untuk menemui tamunya sambil bertanya : “Apa maksud kedatangan saudara?” Sang tamu menjawab : “Saya hendak bertemu dengan Abu Yazid”. Abu Yazidpun berucap : “Sama.., saya juga ingin bertemu dengan Abu Yazid sejak tiga puluh tahun yang lalu, namun hingga detik sekarang ini pun masih belum juga pernah berjumpa dengannya”.

Beliau mempunyai seorang murid yang sekaligus menjadi abdinya selama tiga puluh tahun, dalam kurun waktu sedemikian lama tersebut maka setiap kali ia berjumpa dengan khadamnya selalu bertanya “Siapa namamu?”. Dan apabila si murid memberikan bahwa nama dirinya adalah si Fulan, maka Abu Yazid pun memanggil murid itu si Fulan. Karena amat musykilnya akan seringnya pertanyaan tersebut, hampir setiap kali dilakukan maka pada suatu saat ketika ditanya nama, si murid itu pun balik bertanya : “Kenapa hampir setiap hari, guru mempermainkan saya dengan selalu tanya nama saya?”, bukankah saya mengabdi di sini sudah lebih kurang tiga puluh tahun, dan kenapa guru pura-pura lupa nama saya?”

Abu Yazid menjawab : “Memang benar-benar dirinya selalu lupa aka nama khadam di depannya tersebut, meski sudah berkumpul dalam satu rumah selama tentang waktu tiga puluh tahun, faktor kedua sebab kelupaannya tersebut dikarenakan setiap detik ia senantiasa tenggelam dan larut mengingat Allah, oleh sebab itu asma Allah telah meliputi seluruh sudut hatiku makanya tiada nama sesuatu yang lain yang dapat terekam dalam hatiku”.



* Dikutif dari Buku “Ajaran dan Teladan Para Sufi” oleh Drs. H. M. Laily Mansur, LPH dan buku “Tadzkiratul Auliya” oleh Syekh Fariduddin atthar yang dialihbahasakan oleh Abdul Madjid bin Haji Khatib


*****

Mutiara 5 Kata

  • Rasulullah SAW bersabda :
    Orang yang memandang rendah lima manusia, ia merugi akan lima hal :
  1. Memandang rendah Ulama, rugi tentang agama.
  2. Memandang rendah Penguasa, rugi tentang dunia.
  3. Memandang rendah Tetangga, rugi akan bantuannya.
  4. Memandang rendah Saudara, rugi akan darmanya.
  5. Dan memandang rendah Keluarga, rugi akan harmonisnya.
  • Rasulullah SAW bersabda :
    Akan datang suatu masa, dimana umatku mencinta lima hingga mereka lupakan lima :
  1. Cinta dunia, lupa alam baka.
  2. Cinta tanah subur, lupa alam kubur.
  3. Cinta harta benda, lupa hisab amalnya.
  4. Cinta anak istri, lupa bidadari.
  5. Dan Cinta diri sendiri, lupa pada Ilahi.

  • Rasulullah SAW bersabda :
    Allah berikan lima upaya, dan disediakan-Nya imbalan lima :
  1. Allah ajari insan bersyukur, dan Dia berikan tambahan makmur.
  2. Allah ajari insan berdo’a, dan Dia jamin akan ijabahnya.
  3. Allah ajari insan bertaubat, dan Dia jamin diterima taubatnya.
  4. Allah ajari insan istighfar, dan Dia sediakan pengampunannya.
  5. Allah ajari insan berderma, dan Dia bersedia membalas dermanya.
  • Sayyidina Abu Bakar ra berkata :
    Ada lima kegelapan dan lima penerangnya :
  1. Kegelapan kesatu cinta harta, penerangnya dengan bertakwa.
  2. Kegelapan kedua laku maksiat, penerangnya dengan bertaubat.
  3. Kegelapan ketiga di alam kubur, penerangnya dengan berdzikir.
  4. Kegelapan keempat alam akhirat, penerangnya dengan bertaat.
  5. Kegelapan kelima jembatan shirath, penerangnya dengan i’tiqad.
  • Sayyidina Umar ra berkata :
    Ada lima golongan penghuni surga :
  1. Orang fakir yang menanggung hidup keluarganya.
  2. Istri yang disayang oleh suaminya.
  3. Anak yang diridhoi kedua orangtuanya.
  4. Calon istri yang mendermakan mahar kepada suaminya.
  5. Dan orang mukmin yang selalu bertaubat pada Tuhannya.
  • Sayyidina Utsman ra berkata :
    Tanda-tanda orang bertakwa ialah :
  1. Suka berteman insan beriman.
  2. Mampu mengendalikan farji dan lisan.
  3. Memandang kesuksesan sebagai suatu cobaan.
  4. Memandang cobaan sebagai sebuah keberuntungan.
  5. Dan mampu menjaga diri dari berlebih-lebihan.
  • Sayyidina Ali ra berkata :
    Seluruh manusia akan menjadi saleh, jika saja tak ada lima masalah :
  1. Tak ada kerelaan atas kebodohan.
  2. Tak ada keserakahan atas kekayaan.
  3. Tak ada rasa bakhil atas hartawan.
  4. Tak ada sifat riya’ bagi insan beriman.
  5. Dan tak ada ilmuwan yang mendewakan karya pemikiran.
Sumber>> 


*****
Selengkapnya...