loading

Hati-hati dengan Karomah


“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”

Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Busthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.


“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”

“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”

“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.

“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.

 “Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”

“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”

Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.


“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.

Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.


Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”

Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya,  lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”

Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.


Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat karomah adalah Istiqomah itu sendiri.

Bahkan Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.

Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.

Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,

“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”


Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:

“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”

“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”


“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”

“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”

Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.


*****

Memahami Sufi

(bersihkkan dulu hatimu sebelum membaca artikel ini .... !!!)
sangat disarankan untuk mendapat bimbingan guru mursyid untuk mendalaminya .. :)

 ***


Berlepas diri dari pernyataan yang mengharamkan, memakruhkan dan atau  yang menghalalkan tentang pembahasan mengenai ruh.  Disini saya hanya berbagi referensi dari yang saya pernah lihat atau tahu selama ini.

Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengetahuan manusia dalam masalah “di luar alam nyata” (dalam istilah popoulernya Metafisika) terbatas, namun kita bisa mengetahui hal tersebut lewat penjelasan al-Qur’an dan Sunah Nabi kita. Memang ada sebagian kebanyakan ahli filsafat yang membahas ruh demikian jauh, sehingga mereka berkeyakinan bahwa ruh itu kekal.

Berangkat dari itu semua, bahwa ruh juga adalah masalah penting yang harus kita ketahui, dan inilah tujuan ditulisnya pembahas tentang ruh,  insya allah agar menambah pemahaman atau setidaknya yang mengingatkan, alhasil tulisan ini semoga dapat menjadi bahan bacaan yang dapat membantu atau hanya sekedar bacaan iseng atau mungkin sekedar jadi bacaan cibiran saja pun itu tak apa.

Ada ungkapan yang cukup bijak bahwa “Para Nabi dan Ulama banyak berbicara tentang Allah Swt, mulai dari sifat-sifat-Nya, Asma al-Husna-Nya, lalu membahas tentang wujud, wahdaniat, kalam al-Ilahi dan sebagainya, dan kita tidak mendengar seorang pun yang mengharamkan untuk membahasnya ataupun memakruhkannya.   Lantas  apakah RUH lebih tinggi kedudukannya ?, sehingga menjadi haram untuk di bahas  ? “…  [saya serahkan pada kawan].

RUH

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”  [al-Isra' : 85]

Ruh adalah bagian dari hal ghaib, dan bisa dikatakan rahasia Allah Swt., serta manusia hanya memiliki sedikit pegetahuan tentang ruh, akan tetapi bukan berarti tidak boleh dalam membahasnya. Dalam membahasnya pun sudah barang tentu didasari oleh rasa ingin tahu, dan didasari oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul.

Mengapa Allah merahasiakan Ruh dan mengaitkannya dengan Ruh-Nya, dan di dalam Alqur’an termasuk kelompok ayat-ayat mutasyabihat (makna yang dirahasiakan), karena pada ayat tersebut terdapat kalimat Ruh manusia adalah Ruh yang ditiupkan dari RUH-KU (Min ruuhii) arti harfiahnya adalah Ruh milik Allah. Akan tetapi para mufassir menterjemahkan Ruh ciptaan Allah. Kita jangan terburu-buru menafsirkan karena dari segi tata bahasa ayat ini termasuk kalimat muatasyabihat, sebab Allah sendiri melarang meraba-raba atau mereka-reka seperti apa ruh itu kecuali hanya bisa merasakan bahwa di dalam diri ini ada yang melihat (bashirah) setiap gerak-gerik jiwa dan pikiran serta perasaan kita. Dan bashirah bersifat fitrah (suci) karena ia selalu bersama dan mengikuti amr-amr (perintah) Tuhannya.

“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr,29)

Ruh adalah rahasia Tuhan yang di tiupkan kepada nafs (jiwa atau badan). Ruh ini menyebut dirinya AKU, yang disebut bashirah (yang mengetahui atas jiwa, qalb, fisik dll. – lihat tafsir Shafwatut Attafaasir surat Al-qiayamah : 14 )

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri (nafs). Di dalam nafs (diri) manusia ada yang selalu tahu, yaitu Aku. Yaitu Ruh manusia yang menjadi saksi atas segala apa yang dilakukan nafsinya (diri). Ia mengetahui kebohongan dirinya (nafs), kemunafikan, rasa angkuhnya, dan rasa kebencian hatinya. Karena itu sang ruh disebut min Amri rabbi – selalu mendapatkan intruksi-instruksi Tuhan-Ku. Mengapa demikian, – karena ia tidak pernah mengikuti kehendak nafsu dan tidak pernah menyetujuinya tanpa kompromi sedikitpun. Ialah disebut fitrah yang suci, dan fitrah manusia selalu seiring dengan fitrah Allah (QS. Ar Rum:30)

Jadi jika manusia mengikuti fitrahnya, maka ia akan selalu mengikuti kehendak ilahy.

Sekarang kita mencari pengertian tentang An Nafs

Nafs mempunyai beberapa makna :

Pertama, An Nafs yang berkaitan dan tumpuan syahwat atau hawa [hawa berasal dari bahasa Arab yang tercantum dalam Alqur'an, wanaha An nafsa 'anil hawa - dan ia menahan dirinya (fisiknya) dari keinginannya (hawanya) ]( An Nazi’at :40-41). Yaitu hawanya ; mata, telinga, mulut, kemaluan, otak dll. Hawa-hawa atau syahwat, selalu berkecenderungan kepada asal kejadiannya yaitu sari pati tanah – dengan demikian An nafs berarti fisik (tanah yang diberi bentuk). Dia akan bergerak secara naluri mencari bahan-bahan materi asal fisiknya, ketika kekurangan energi atau kekurangan unsur-unsur asalnya maka ia akan segera mencari atau secara naluri ia akan berkata, saya lapar, saya haus !.

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari ekstrak yang berasal dari tanah.” (QS. Al Mukminun:12)

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang berstruktur (berbentuk), maka apabila Aku telah meniupkan kepadanya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” [QS. Al Hijir: 28-29]

An nafs arti Fisik yang mempunyai bahan dari ekstrak tanah yang mempunyai bentuk .

Kedua, An Nafs berarti : Jiwa, – jiwa mempunyai beberapa sifat, nafs lawwamah (pencela), nafs muthmainnah (tenang), Nafs Ammarah bissu’ (senantiasa menyuruh berbuat jahat).

Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah ….. [QS. Al Fajr : 27-28]

Wala uqsimu binnafsil lawwamah … [QS. Al Qiyamah:2]

Wama ubarriu nafsii, innannafsa laammaratun bissuu’ [QS. Yusuf:53]

Sedangkan Qalb, artinya sifat jiwa yang berubah-ubah, tidak tetap. Terkadang ia bersifat muthmainnah, kadang juga lawwamah, atau berubah menjadi ammarah bissuu’

Watak seperti inilah yang dimaksud dengan QALB (berbolak-balik), jadi keliru kalau dikatakan qalb itu adalah wujud karena dia bukan jiwa, akan tetapi merupakan sifatnya jiwa yang selalu berubah-rubah. Jiwa yang mempunyai sifat berubah-rubah inilah, dinamakan Qalbun !! sedangkan jiwa yang selamat disebut Qalbun salim (selamat dari sifat yang berubah-rubah) – illa man atallaha biqalbin saliim – kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat. (QS. Asy Syura: 89)

An nafs (jiwa) memiliki alat-alat, Pikiran, Perasaan, Intuisi, Emosi, dan Akal. Sedangkan An Nafs (fisik) memiliki alat-alat : Penglihatan (mata), Pendengaran (telinga), Perasa (lidah), Peraba, Penciuman (hidung).


Selanjutnya kita lihat kitab Barnabas berikut ini :

“…kemudian berkata Yesus, demi Allah pada hadirat-Nya Ruhku berdiri, banyak yang sudah tertipu mengenai kehidupan kita. Karena demikian saling merapatnya antara Ruh dan perasaan telah berhubungan bersama, hingga sebagian besar manusia mengiakan Ruh dan perasaan itu menjadi satu dan hal yang sama, hanya terbaginya dalam penugasan sedangkan tidak dalam wujud, menyebutkannya sensitive (rasa perasaan), vegetative (tubuh yang tumbuh) dan intellectual soul (Ruh berfikir, cerdas akal). Tetapi sungguh aku katakan kepadamu, ruh itu adalah satu, yang berfikir dan hidup. Orang-orang dungu, dimanakah akan mereka dapatkan ruh akal tanpa kehidupan ? tentulah keadaan ketidak sadaran, apabila rasa perasaan meninggalkannya.” Thaddeaus menjawab, “O Guru, apabila rasa perasaan (sense) meniggalkan kehidupan (life) seorang manusia tidak mempunyai kehidupan.”

Ayat diatas menjelaskan banyak orang tertipu mengenai kehidupan, sesungguhnya Ruh itulah yang menyebabkan orang itu hidup dan berfikir dan memiliki perasaan (sense), tubuh yang bergerak dan tumbuh, berfikir dan berakal. Semuanya itu karena adanya Ruh. Dan Thaddeaus menyimpulkan bahwa jika manusia tidak memiliki Ruh maka tidak akan ada kehidupan pada dirinya. Berarti rasa (sense) intellectual soul merupakan intrument ruh.

Kemudian pada pasal 123

Ketika semua duduk, Yesus berkata lagi, ALLAH kita untuk memperlihatkan kepada makhluk-makhluk-Nya kasih sayang-Nya dan rahmat serta Maha Kuasa-Nya, dengan Maha pemurah dn Maha Adil-Nya, membuat sesunan dari empat hal berlawanan yang satu dengan yang lain, lalu menyatukannya dalam suatu tujuan ahkir, itulah manusia dan ini adalah tanah, udara, air dan api. Supaya tiap-tiap satu sama lain menenangkan pertentangannya. Dan dari empat benda ini, dia menjadikan sebuah kendi (bejana) itulah tubuh manusia, daging, tulang-tulang, darah, sum-sum dan kulit dengan saraf-saraf dan pembuluh-pembuluh darah, dan dengan semua bagian-bagian dalamnya; dalam tempat itu Allah meletakkan RUH dan rasa perasaan, laksana dua tangan dari hidup ini. Memberikan tempat kepada rasa perasaan pada setiap bagian tubuh untuk itu menebarkan dirinya disana seperti minyak. Dan kepada Ruh, dia memberikan untuk tempatnya hati, yang bersatu dengan perasaan, dialah akan menerima seluruh kehidupan itu.

Ayat ini menerangkan penciptaan manusia seperti terdapat di dalam Al qur’an surat Al Hijir 28-29 , sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh-Ku , maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, Surat Al mukminun: 12 , berasal dari ekstrak tanah

Surat Al hajj : 5, manusia dari turab (berupa debu)

Surat Ar Rahman : 14 , dari tanah liat yang kering seperti tembikar.

Pasal 179, dikatakan Ruh itu bersifat universal dan besarnya 1000 kali lebih besar dari seluruh bumi.

Jiwa adalah bersifat sangat luas dengan identitas dirinya yang dipanggil sebagai feminin karena sifatnya yang universal – Ya Ayyatun nafsul muthmainnah – wahai jiwa yang tenang. Penggunakan Ya nida’(Ayyatuha) atas jiwa sebenarnya biasa digunakan untuk memanggil wanita, juga untuk panggilan (nida’) sesuatu yang sangat luas berdasarkan dalil kullu jam’in muannatsin – sesuatu yang bersifat universal atau luas disebut muannats (feminin). Misalnya, jannatun (syurga), samawat (langit), Al Ardh (bumi), Al jamiat (universitas / universal).

Hampir jarang orang menyadari akan dirinya sebenarnya sangat luas, akan tetapi kesadaran ini telah lama menyesatkan fikiran kita yang menganggap bahwa diri kita sebatas apa yang tergambar secara kasat mata saja, padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa manusia baik logam, tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari suatu untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini tersusun oleh senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom). Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah sebanyak energi negatifnya (electron) di dalam atom ini – setiap detik terjadi loncatan dan pancaran (chark and spark) secara terus menerus. itulah semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Manusia tidak mampu melihat semburan atau loncatan yang tidak putus-putus dengan kecepatan yang sangat luar biasa ini dengan kasat mata biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup – sebagaimana Al qur’an mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam seperti diam tak bergerak :

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan.” [QS. An Naml:88]

Secara fisik, manusia bersifat luas dan ruhani meliputi keluasan alam semesta.


Insya Allah … bermanfa’at. amin.


 *****


Uzlah

Tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati sebagaimana uzlah, sebab dengan memasuki uzlah alam pemikiran kita akan menjadi lapang.”

Mengobati penyakit hati bagi seorang murid merupakan sebuah kewajiban. Sementara penyakit-penyakit hati itu terjadi karena kekalahannya terhadap hokum-hukum tabiat dari pergaulannya yang berlawanan dengan kehendak kesucian hatinya, terpaku dengan kebiasaan-kebiasaan buruk dan arena mengikuti kehendak hawa nafsunya serta merasa senang dengan perasaan alam indrawi.

Untuk mengobati penyakit hati ada banyak cara yang bisa ditempuh, tetapi yang paling ampuh dan bermanfaat ialah dengan cara mengasingkan diri dari keramaian hiruk pikuk manusia (uzlah) melakukan perenungan, menghidupkan jiwa dan mensucikan pikiran.

Dengan beruzlah, secara lahir seseorang menjadi terhindar dari pergaulan orang-orang yang tidak patut untuk dipergauli dan selamat dari orang-orang yang akan memasukkan bahaya dan pengaruh negative dengan sebab mempergaulinya.

Dengan begitu maka, maka orang yang beruzlah menjadi terbebas dan selamat dari kemaksiatan yang muncul melalui pergaulan. Seperti menggunjing, riya’, menampilkan sifat yang dibuat-buat. Sehingga ia menjadi selamat dari perangai buruk dan akhlak yang tercela yang hendak merasuki dan merecokinya. Manfaat lain yang juga didapatkan adalah agamanya menjadi terjaga, jiwanya menjadi terpelihara dari dorongan permusuhan, serta berbagai macam kejahatan dan fitnah yang lainnya. Karena nafsu begitu cepat merespon dan hanyut pada hal-hal buruk tersebut tanpa reserve.

Oleh sebab itu, adalah menjadi keharusan bagi orang yang beruzlah untuk menahan lisannya dari bertanya tentang berita orang-orang di luar mengenai kesibukan dan apa saja yang terjadi pada mereka. Juga berkewajiban menjaga pendengarannya dari mendengarkan berita tentang dan keadaan mereka. Agar konsentrasi uzlahnya tidak terganggu dengan munculnya kabar berita yang muncul dan berusaha untuk mengetahuinya. Hendaklah ia juga menjauhi pergaulan dengan orang yang tidak dapat menjaga ucapan dan tidak dapat dipercaya akan kebenaran lisannya, yang ucapannya panjang lebar dan hingga tidak terasa masuk kedalam pergunjingan membicarakan aib dan keburukan manusia. Karena semua itu akan memperkeruh kejernihan hati, sehingga terperangkap kedalam perbuatan maksiat yang mengundang kemurkaan Tuhan.

Bagi orang yang beruzlah hendaklah menjauhi dan berlari dari semua itu, sebagaimana berlarinya menjauh dari binatang buas. Sama sekali janganlah bermitra dengan orang semacam itu. Hendaklah ia mengingkari orang yang dikenalnya yang tidak dapat menjaga lidah, apalagi terhadap mereka yang tidak dikenal, untuk menjaga agamanya.

Sebagaimana perkataan sebagian Ulama :

“Ingkarilah orang yang anda ketahui, janganlah Anda mencari tahu pada orang yang tidak Anda kenal.”

Disebutkan pula dalam Hadis :

“Perumpamaan mitra duduk yang buruk adalah laksana pandai besi, jika ia tidak membakar Anda dengan kejahatan peltikan api ububannya, tentu Anda terkena baunya.”

Didalam akhbar tentang kaum terdahulu disebutkan bahwa Allah swt. Berfirman kepada Nabi Musa as. : “Wahai putera Imran, jadilah Anda selalu terjaga dengan penuh kesadaran, janganlah diri Anda merasa tenang dengan seorang teman. Karena seorang saudara atau teman yang tidak mendorong dan meluruskan Anda untuk berbuat baik kepada-Ku, pada dasarnya dia adalah musuh Anda.”

Allah swt. juga berfirman kepada Nabi Daud as. : “Wahai Daud, Aku tidak melihat Anda menyendiri, untuk beruzlaj. “ Daud berkata : ”Ya Ilahi, Aku mengurus makhluk, karena Engkau.” Allah berfirman : “jadilah Anda, orang yang selalu terjaga penuh waspada, janganlah diri Anda merasa tenang dengan seorang saudara, karena setiap teman atau saudara yang tidak memberikan petunjuk dan dorongan melakukan kebaikan pepada-Ku, maka janganlah Anda bergaul dengannya, karena dia adalah musuh bagi Anda, membuat hati Anda keras membatu dan jauh dari-Ku.”

Abi Ishaq dalam syairnya :

Takutlah terhadap pergaulan anak-anak manusia

Sebagaimana ketakutan Kamu terhadap binatang buas dan singa.

Pergaulilah manusia pilihan di antara mereka

Dengan tetap penuh waspada.

Dengan beruzlah juga akan terhimpunlah cita-cita. Berbeda dengan bergulat dalam hangar bingar pergaulan manusia. Karena yang terakhir ini, akan mencerai beraikan cita-cita dan memerlemah kemauan menuju Tuhan.

Dikatakan pula, bahwa dengan menyepi seorang hamba dapat menyimpulkan masalah yang dianalisanya dalam situasi yang bersih, sehingga memperoleh banyak kebaikan yang dapat diperbuat terhadap Tuhannya. Tetapi ketika ia keluar berkecimpung dalam hiruk pikuk komunitas pergaulan, maka ikatan-ikatan kebaikan itu, akan terlepas satu persatu, hingga tak tersisa ketika ia kembali ke rumah.

Diriwayatkan dari Nabi Isa as. :

Artinya :

“Janganlah Anda menjalin kemitraan dengan orang-orang yang mati. Karena akan menyebabkan hati anda juga menjadi mati.”

Ditanyakan kepadanya : “Siapakah orang-orang yang mati itu ?”

Ia menjawab :”Yaitu orang-orang yang cinta dunia, yang orientasi hidupnya hanyalah untuk kesenangan dunia.”

Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. Bahwa beliau bersabda : “Sesungguhnya sesuatu yang paling Aku takutkan terjadi pada umatku adalah, lemahnya keyakinan (iman).” Dan lemahnya keyakinan itu hanya akan terjadi karena pengaruh melihat orang-orang yang lalai dan bergaul dengan orang-orang yang suka berbuat kebatilan dan kekerasan.

Abu Thalib Al-Makki berkata : “Musibah yang paling berbahaya bagi seorang hamba yang membuatnya terperangkap dalam perbuatan yang menyeretnya pada kebinasaan dan jauh dari Tuhan adalah lemahnya iman. Lemahnya keyakinan terhadap apa yang dijanjikan, mengenai hal-hal gaib yang harus diyakini, seperti adanya janji pahala, kesaksian dan ancaman siksa. Kuatnya iman dan keyakinan adalah pangkal dari segala kebaikan dan kesalehan.

Dalam kontek ini, ada seseorang bertanya kepada wali abdal, bagaimana caranya menemukan hakekat dan bisa sampai kepada Al-Haq (Allah). Dia berkata : “Janganlah anda melihat pada makhluk, karena melihat mereka adalah kegelapan. Orang itu berkata : “Melihat mereka menjadi tidak bias tidak, karena saya adalah bagian dari mereka.” Dia menjawab : “ Janganlah Anda mendengar perkataan mereka. Karena perkataan kasar mereka membuat hati Anda mati. “Orang itu berkata lagi : “Tidak bisa tidak, saya adalah manusia diantara mereka.” Dia menjawab : “ Janganlah Anda bermuamalah dengan mereka, karena bermuamalah dengan mereka merupakan kerugian dan kekerasan.” Orang itu berkata : “Saya berada di antara mereka, bermuamalah dengan mereka menjadi keniscayaan yang tidak bisa dihindari.” Dia menjawab : “Janganlah Anda merasa tenang tinggal bersama mereka. Karena tinggal bersama mereka akan menimbulkan kerusakan.” Orang itu berkata lagi : “Inilah illatnya.” Sang Wali abdal berkata : “Hai tuan, Anda melihat orang-orang yang bermain-main, mendengar perkataan orang-orang yang bodoh, bermuamalah dengan orang-orang yang batil dan tinggal bersama orang-orang yang rusak, sementara Anda menginginkan mendapatkan manisnya ketaatan, namun hati Anda bersama yang selain Allah, betapa jauh lamun dari kenyataan. Yang demikian itu, tidak akan terjadi selamanya.”

Dan dengan beruzlahlah pandangan matanya menjadi terhindar dari melihat perhiasan dan kenikmatannya yang bersifat menipu, gerak hatinya menjadi terhindar dari memandang baik akan perhiasan dan kesenangan dunia yang dicela oleh Allah. Dengan mengumbar pandangan terhadap perhiasan dan kesenangan dunia nafsu menjadi bergejolak tertarik terus memandangnya secara berlebihan, sehingga terdorong untuk melakukan perbincangan dengan orang yang ahli dunia.

Allah swt. Berfirman :

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang Telah kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. THAHA : 131)

Hendaklah bagi seorang hamba memandang rendah dan hina tehadap dunia dan perhiasannya. Karena dunia dan perhiasannya itu akan menyebabkan timbulnya penyakit hati yang sangat besar dan bernahaya. Barangsiapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia akan selamat dari bahaya besar itu, atas izin Allah swt.

Imam Abu Qasim Al-Qusyairi ra. Berkata : “Orang-orang yang menempuh jalan mujahadah, apabila menghendaki menjaga hati mereka dari getaran-getaran suara hati yang buruk, mereka tidak memandang terhadap perhiasan dunia. Ini merupakan persoalan penting dan mendasar dalam dunia mujahadah bagi orang yang menekuni laku spiritual (riyahadhah).

Muhammad bin Sirin ra. Berkata : “ Tahanlah pandangan Anda, takutlah memandang secara berlebihan. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat.”

Seorang sastrawan berkata : “ Barangsiapa yang mengumbar sorot matanya, maka dia akan selalu menuai penyesalan.” Ada pula yang berkata : “ Pandangan mata menjadi sumber timbulnya lamunan. Barangsiapa yang melepas matanya, dia akan terus memburu mangsanya. Sesungguhnya memandang sesuatu dengan penglihatan mata, menyebabkan hati menjadi tercerai berai. Berkatalah penyair melalui bait-bait syair berikut :

“Jika mata yang merupakan jendela hati

kamu lepas bebas

maka aneka pemandangan

membuat kamu kelelahan

apa yang kamu lihat

tidak akan sanggup kamu jangkau seluruhnya

dan dengan yang sebagian saja

kamu pun tidak akan sanggup bersabar.”

Dengan demikian, keinginannya terhadap apa yang dimiliki orang lain menjadi terputus dan apa yang ada dalam khazanah Allah menjadi harapan dan cita-citanya.

Yang demikian itu, merupakan faedah besar beruzlah bagi orang yang berakal dan memiliki kecerdasan. Manfaat uzlah tidak akan tercapai secara sempurna, kecuali dengan menyibukkan hati dengan berpikir dan melakukan perenungan.

Bagi orang yang beruzlah dituntut untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan lahiriah secara syar’I, dan adab-adabnya secara bathin. Syekh Imam Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan mengenai uzlah di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin di dalam bab uzlah dengan penjelasan yang komprehensif dan mendalam. Hendaklah Anda menelaah dan menyimaknya dengan baik.

Nabi saw. Bersabda : “Berpikir sesaat lebih baik daripada ibadah sunnah selama satu tahun.” Demikian keutamaan beruzlah dengan melakukan perenungan. Wallahu a’lam.

Isa putra Mariam, semoga shalawat dan salam tercurah pada keduanya, juga kepada Nabi kita Muhammad saw. Beliau berkata :

“Sungguh beruntung orang yang ucapannya adalah dzikir, diamnya pikir, penglihatannya untuk mengambil pelajaran. Dan orang yang paling cerdas adalah orang yang mampu menundukkan nafsunya dan beramal buat setelah kematian.”

Ka’ab berkata : “Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan di akhirat, maka hendaklah memperbanyak berpikir’”

Ketika ditanyakan kepada Ummi Darda’ : “Amal apakah yang paling mulia yang dilakukan oleh Abu Darda’ ?” Ia menjawab : “ Bertafakkur.” Yang demikian itu, karena dengan bertafakkur dapat bisa sampai mengetahui akan hakekat sesuatu, menjadi jelas antara yang hak dan yang batil, antara yang manfaat dan yang bahaya. Dengan bertafakkur dapat juga diketahui gerak halus munculnya nafsu yang berbahaya, tipu daya musuh, tipuan dunia. Dapat diketahui pula arah jahat kehendak nafsu, sehingga dapat menghindari dan membersihkan dari kejahatannya.

Hasan basri berkata : “ Berpikir merupakan cermin, sehingga terlihat kebaikan dan keburukan Anda.” Apabila seseorang berpikir mengenai ayat-ayat dan ciptaan Allah, maka akan terlihat olehnya kebesaran dan keagungan Allah swt. Dan diketahui pula betapa besarnya nikmat Allah, baik yang nyata maupun yang samar. Didapatkannya suatu keadaan yang luhur yang dapat menghilangkan penyakit hati dan menjadi lurus, tetap teguh dalam menjalankan ketaatan kepada Tuhannya, juga merupakan manfaat yang diperoleh dengan sebab berpikir.

Saya (Ibnu Ibad) berkata, bahwa mengenai uzlah yang dikemukakan pengarang (Ibnu Athaillah), mengandung pengertian al-khalwah (berkhalwat atau menyepi). Di mana berkhalwat merupakan salah satu dari empat rukun uzlah yang mesti dipenuhi bagi murid, atau orang yang menempuh jalan uzlah. Rukun ketiga yang harus juga dipenuhi ialah as-shumtu (diam), dan seseorang tidak akan bisa menghindari untuk tidak bicara dengan manusia, melainkan dengan berkhalwat dan uzlah. Sementara kedua rukun lainnya ialah lapar (al-juu’) dan terjaga (as-sahr). Bila semua itu, terpenuhi secara sempurna oleh seorang murid, maka berhasil sebagai obat, dan iapun masuk dalam kategori golongan para wali dan wali abdal.

Sahal bin Abdullah ra. Berkata : “ Dengan empat perkara itu, para wali abdal menjadi wali abdal. Keempat perkara itu ialah :

   1. Tahan lapar (al-juu’u)
   2. Diam (as-shumtu)
   3. Berkhalwat (al-khalwah)
   4. Terjaga (as-sahr)

Sebagaimana yang terhimpun dalam syair berikut :

"Wahai orang yang menuju maqom wali abdal
tanpa kehendak kuat untuk beramal.
Jangan coba-coba menginginkannya
bila kamu bukan ahlinya.
Mana mungkin kamu dapat memasuki dunia kewalian
sementara kamu masih sibuk dengan hangar bingar
keramaian dan pesta dunia.
Para pemimpin wali abdal mendirikan empat sendi (rukun)
untuk dapat memasuki baitul wilayah (rumah kewalian)
yaitu, diam, mengasingkan diri, lapar dan terjaga."

*****

Selengkapnya...