loading

Jumat, 12 Februari 2010

KISAH PERTANYAAN NABI ADAM DAN IBLIS KEPADA ALLAH S.W.T.


Dikisahkan dalam sebuah kitab bahawa Nabi Adam A.S. telah bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Allah, Engkau benar-benar telah menguasakannya atas aku, oleh itu tidak mungkin aku dapat menolaknya melainkan dengan pertolongan Engkau."
Lalu Allah S.W.T. berfirman yang maksudnya, "Tidak akan dilahirkan seorang anak bagimu, melainkan aku serahkan anak itu kepada malaikat yang selalu menjaganya."
Kemudian Nabi Adam A.S. pun berkata lagi, "Ya Allah, tambahkanlah lagi untukku."
Makaka Allah berfirman yang bermaksud, "Setiap kebaikan akan dapat sepuluh kali ganda."
Nabi Adam berkata lagi, "Ya Allah tambahkanlah lagi untukku."
Allah berfirman yang bermaksud, "Tidak akan aku cabut taubat dari mereka(manusia) selagi
nyawa-nyawa mereka masih dalam tubuh mereka."
Nabi Adam berkata lagi, "Ya Allah tambahkanlah lagi untukku."
Lalu Allah berfirman lagi yang bermaksud, "Aku akan mengampuni mereka dan aku tak peduli."
Nabi Adam berkata lagi, "Sekarang cukuplah untukku."
Kemudian iblis pula bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Tuhanku, Engkau jadikan di kalangan anak cucu Adam beberapa utusan dan Engkau turunkan kepada mereka beberapa kitab. Oleh itu, siapakah yang akan menjadi utusan-utusanku?"
Allah menjawab dengan firman-Nya yang bermaksud, "Utusanmu itu ialah tukang-tukang nujum."
Iblis bertanya lagi, "Dan apa pulak yang menjadi kitabku?"
Firman Allah bermaksud, "Kitabmu ialah tahi lalat buatan."
Bertanya Iblis lagi, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi hadisku?"
Firman Allah yang bermaksud, "Hadismu ialah semua kata-kata dusta dan palsu."
Iblis bertanya lagi, Ya Tuhanku, apakah quranku?"
Firman Allah yang bermaksud, "Quranmu ialah nyanyian."
Iblis bertanya lagi, "Siapakah yang menjadi muazzinku?"
Allah berfirman yang bermaksud, "Muazzinmu ialah seruling."
Iblis bertanya lagi, "Dan apakah yang menjadi masjidku?"
Firman Allah yang bermaksud, "Masjidmu ialah pasar."
Bertanya lagi Iblis, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi rumahku?"
Firman Allah yang bermaksud, "Rumahmu ialah bilik air tempat permandian."
Iblis bertanya lagi, "Ya Tuhanku, apakah yang menjadi makananku?"
Firman Allah yang bermaksud, "Makananmu ialah makanan yang tidak disebut nama asmaku."
Iblis bertanya lagi, "Apakah yang menjadi minumanku?"
Allah berfirman yang bermaksud, "Minumanmu ialah sesuatu yang memabukkan."
Dan akhir sekali Iblis bertanya kepada Allah S.W.T., "Ya Tuhanku, apakah yang akan menjadi perangkapku?"
Kemudian Allah berfirman lagi yang bermaksud, "Perangkapmu ialah perempuan."
Dengan terbacanya kisah ini hendaklah kita berusaha supaya menjauhkan diri daripada perangkap-perangkap iblis.
Apabila kita takut kepada seseorang maka hendaklah kita menjauhkan diri daripadanya tetapi sekiranya kita takut kepada Allah, hendaklah kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya.
Makna dan Hakekat tawazun
Tawazun artinya keseimbangan. Sebagaimana Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan (67: 3).
Manusia dan agama lslam kedua-duanya merupakan ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrah Allah. Mustahil Allah menciptakan agama lslam untuk manusia yang tidak sesuai Allah (30: 30). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (agama tauhid: Al-Islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, itu hanyalah karena pengaruh lingkungan (Hadits: Setiap bayi terlahir daIam keadaan fitrah (Islam) orang tuanyalah yang menjadikan ia sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi)
Sesuai dengan fitrah Allah, manusia memiliki 3 potensi, yaitu Al-Jasad (Jasmani), Al-Aql (akal) dan Ar-Ruh (rohani). Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam keadaan tawazun (seimbang). Perintah untuk menegakkan neraca keseimbangan ini dapat dilihat pada QS. 55: 7-9.
Ketiga potensi ini membutuhkan makanannya masing-masing. :
1. Jasmani.
Mu’min yang kuat itu lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah (HR. Muslim). Kebutuhannya adalah makanan, yaitu makanan yang halaalan thayyiban (halal dan baik) [80:24, 2:168], beristiharat [78:9], kebutuhan biologis [30: 20-21] & hal-hal lain yang menjadikan jasmani kuat.
2. Akal
Yang membedakan manusia dengan hewan adalah akalya. Akal pulalah yang menjadikan manusia lebih mulia dari makhluk-makhluk lainnya. Dengan akal manusia mampu mengenal hakikat sesuatu, mencegahnya dari kejahatan dan perbuatan jelek. Membantunya dalam memanfaatkan kekayaan alam yang oleh Allah diperuntukkan baginya
supaya manusia dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifatullah fil-ardh (wakil Allah di atas bumi) [2:30, 33:72]. Kebutuhan akal adalah ilmu [3:190] untuk pemenuhan sarana kehidupannya.
3. Ruh (hati)
Kebutuhannya adalah dzikrullah [13:28, 62:9-10]. Pemenuhan kebutuhan rohani sangat penting, agar roh/jiwa tetap memiliki semangat hidup, tanpa pemenuhan kebutuhan tersebut jiwa akan mati dan tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepadanya.
Dengan keseimbangan manusia dapat meraih kebahagian hakiki yang merupakan nikmat Allah. Karena pelaksanaan syariah sesuai dengan fitrahnya. Untuk skala umat, ke-tawazunan akan menempatkan umat lslam menjadi umat pertengahan/ ummatan wasathon [2:143]. Kebahagiaan itu dapat berupa:
- Kebahagiaan bathin/jiwa, dalam Bentuk ketenangan jiwa [13:28]
- Kebahagian zhahir/gerak, dalam Bentuk kestabilan, ketenangan beribadah, bekerja dan aktivitas lainnya.
Dengan menyeimbangkan dirinya maka manusia tersebut tergolong sebagai hamba yang pandai mensyukuri nikmat Allah. Dialah yang disebut manusia seutuhnya.
Contoh-contoh manusia yang tidak tawazun
• Manusia Atheis: tidak mengakui Allah, hanya bersandar pada akal (rasio sebagai dasar) .
• Manusia Materialis: mementingkan masalah jasmani / materi saja.
• Manusia Pantheis (Kebatinan): bersandar pada hati/ batinnya saja.
REFERENSI
• Al-Qadiry , Seimbanglah dalam Beragama, Jakarta:GIP
• Silabus Materi Tarbiyah th 1994/1995
Tawazun, berasal dari kata tawazana : seimbang
Tidak tercapai keseimbangan tanpa kedisiplinan
Tawazun, sebagai :
- Sunnah kauniyah
Keseimbangan rantai makanan, tata surya, hujan dll
- Fitrah Insaniyyah
Tubuh, pendengaran, penglihatan dan hati
Abu Fathan (Ust. Tifatul Sembiring), dalam bukunya “Tawazun, sebuah prinsip dalam gerakan da’wah”. Membagi ruang lingkup tawazun, sebagai berikut :
1. Diri sendiri
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.28:77)
Boleh mencintai ‘dunia’ , karena fitrah manusia (QS.3:14) namun jangan berlebihan (QS.7:31), dengan tetap menempatkan Allah swt dan RasulNya di atas segalanya (QS. 9:24)
2. Ibadah
Hadits tentang pemuda yang tidak nikah, tidur dan berbuka. Padahal Allah swt tidak membebani di luar kapasitas hambaNya (QS.2:286, QS.64: 16)
3. Keluarga
Keluarga adalah ujian (QS.28:8), namun tidak diterlantarkan, karena akan merusak citra da’wah. Rasulpun sering bercanda dengan Aisyah ra
4. Da’wah
- Dalam gerakan da’wah ; misal, tidak isti’jal,proporsional dalam susunan syuro, membangun basis umat dan mencetak kader utama
- Antara pembinaan diri dan orang lain (QS. 61:2-3)
- Antara waktu da’wah dengan keluarga
- Antara fase tabligh, ta’lim dan takwin
- Dalam materi yang disampaikan (QS.2:208)
5. Masyarakat
Bersosialisasi dengan tetangga dan masyarakat sekitar.
Faktor yang menyebabkan tidak tawazun :
1. kurang memahami konsep tawazun
2. faktor indhibath (kedisiplinan)
3. tarikan – tarikan kekerabatan
4. lepas kontrol terhadap nafsu
5. lupa dzikrul maut
6. lupa terhadap kewajiban da’i
7. mendapat musibah/ ujian yang berat
8. godaaan harta, tahta dan wanita
9. bergaul dengan orang yang tidak baik
10. tidak mengikuti perkembangan waqi (realita)

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya “Islam dan pembinaan kepribadian” , menyebutkan keseimbangan sebagai bahan baku terlahirnya manusia yang kuat (jundullah). diantaranya adalah

1. Ruh, yang tidak ada pengetahuan tentangnya kecuali sedikit (QS.17:85),sebagai perantara manusia dengan Khaliqnya, dididik dengan beribadah.
2. Akal, Sebagai kekuatan untuk menerima ilmu pengetahuan. Merenung, berfikir dan menalar sesuai dengan perintah Al-Quran. (QS.38:29, dll). Keberadaanya menjadi syarat taklif (QS.17:36)
3. Fisik, sebagai eksekutor/ wadah dari ruh dan akal. Al-Qur’an menegaskan tentang kebutuhan jasmani, diantaranya :

- Kebutuhan pada makanan dan minuman (QS.7:31)
- Pada pakaian dan tempat tinggal (QS.16:80)
- Perkawinan dan keluarga (QS.23:5-7)
- Kekuatan dan kesehatan (QS.8:60)
- Kepemilikan (QS.18:46)
- Pekerjaan dan kesukaan (QS.7:129)
- Istirahat dan ketenangan (QS.2:185)

Menjadi manusia yang baik secara sosial, perlu membina kedua hal berikut:
4. AkhlakTawazun, berasal dari kata tawazana : seimbang
Tidak tercapai keseimbangan tanpa kedisiplinan
Tawazun, sebagai :
- Sunnah kauniyah
Keseimbangan rantai makanan, tata surya, hujan dll
- Fitrah Insaniyyah
Tubuh, pendengaran, penglihatan dan hati
Abu Fathan (Ust. Tifatul Sembiring), dalam bukunya “Tawazun, sebuah prinsip dalam gerakan da’wah”. Membagi ruang lingkup tawazun, sebagai berikut :
1. Diri sendiri
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.28:77)
Boleh mencintai ‘dunia’ , karena fitrah manusia (QS.3:14) namun jangan berlebihan (QS.7:31), dengan tetap menempatkan Allah swt dan RasulNya di atas segalanya (QS. 9:24)
2. Ibadah
Hadits tentang pemuda yang tidak nikah, tidur dan berbuka. Padahal Allah swt tidak membebani di luar kapasitas hambaNya (QS.2:286, QS.64: 16)
3. Keluarga
Keluarga adalah ujian (QS.28:8), namun tidak diterlantarkan, karena akan merusak citra da’wah. Rasulpun sering bercanda dengan Aisyah ra
4. Da’wah
- Dalam gerakan da’wah ; misal, tidak isti’jal,proporsional dalam susunan syuro, membangun basis umat dan mencetak kader utama
- Antara pembinaan diri dan orang lain (QS. 61:2-3)
- Antara waktu da’wah dengan keluarga
- Antara fase tabligh, ta’lim dan takwin
- Dalam materi yang disampaikan (QS.2:208)

5. Masyarakat
Bersosialisasi dengan tetangga dan masyarakat sekitar.

Faktor yang menyebabkan tidak tawazun :
1. kurang memahami konsep tawazun
2. faktor indhibath (kedisiplinan)
3. tarikan – tarikan kekerabatan
4. lepas kontrol terhadap nafsu
5. lupa dzikrul maut
6. lupa terhadap kewajiban da’i
7. mendapat musibah/ ujian yang berat
8. godaaan harta, tahta dan wanita
9. bergaul dengan orang yang tidak baik
10. tidak mengikuti perkembangan waqi (realita)

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya “Islam dan pembinaan kepribadian” , menyebutkan keseimbangan sebagai bahan baku terlahirnya manusia yang kuat (jundullah). diantaranya adalah

1. Ruh, yang tidak ada pengetahuan tentangnya kecuali sedikit (QS.17:85),sebagai perantara manusia dengan Khaliqnya, dididik dengan beribadah.
2. Akal, Sebagai kekuatan untuk menerima ilmu pengetahuan. Merenung, berfikir dan menalar sesuai dengan perintah Al-Quran. (QS.38:29, dll). Keberadaanya menjadi syarat taklif (QS.17:36)
3. Fisik, sebagai eksekutor/ wadah dari ruh dan akal. Al-Qur’an menegaskan tentang kebutuhan jasmani, diantaranya :
- Kebutuhan pada makanan dan minuman (QS.7:31)
- Pada pakaian dan tempat tinggal (QS.16:80)
- Perkawinan dan keluarga (QS.23:5-7)
- Kekuatan dan kesehatan (QS.8:60)
- Kepemilikan (QS.18:46)
- Pekerjaan dan kesukaan (QS.7:129)
- Istirahat dan ketenangan (QS.2:185)
Menjadi manusia yang baik secara sosial, perlu membina kedua hal berikut:
4. Akhlak
5. Sosial
5. Sosial

Tawazun, berasal dari kata tawazana : seimbang

Tidak tercapai keseimbangan tanpa kedisiplinan

Tawazun, sebagai :
- Sunnah kauniyah
Keseimbangan rantai makanan, tata surya, hujan dll
- Fitrah Insaniyyah
Tubuh, pendengaran, penglihatan dan hati

Abu Fathan (Ust. Tifatul Sembiring), dalam bukunya “Tawazun, sebuah prinsip dalam gerakan da’wah”. Membagi ruang lingkup tawazun, sebagai berikut :
1. Diri sendiri
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.28:77)
Boleh mencintai ‘dunia’ , karena fitrah manusia (QS.3:14) namun jangan berlebihan (QS.7:31), dengan tetap menempatkan Allah swt dan RasulNya di atas segalanya (QS. 9:24)
2. Ibadah
Hadits tentang pemuda yang tidak nikah, tidur dan berbuka. Padahal Allah swt tidak membebani di luar kapasitas hambaNya (QS.2:286, QS.64: 16)
3. Keluarga

Keluarga adalah ujian (QS.28:8), namun tidak diterlantarkan, karena akan merusak citra da’wah. Rasulpun sering bercanda dengan Aisyah ra
4. Da’wah
- Dalam gerakan da’wah ; misal, tidak isti’jal,proporsional dalam susunan syuro, membangun basis umat dan mencetak kader utama
- Antara pembinaan diri dan orang lain (QS. 61:2-3)
- Antara waktu da’wah dengan keluarga
- Antara fase tabligh, ta’lim dan takwin
- Dalam materi yang disampaikan (QS.2:208)

5. Masyarakat
Bersosialisasi dengan tetangga dan masyarakat sekitar.

Faktor yang menyebabkan tidak tawazun :
1. kurang memahami konsep tawazun
2. faktor indhibath (kedisiplinan)
3. tarikan – tarikan kekerabatan
4. lepas kontrol terhadap nafsu
5. lupa dzikrul maut
6. lupa terhadap kewajiban da’i
7. mendapat musibah/ ujian yang berat
8. godaaan harta, tahta dan wanita
9. bergaul dengan orang yang tidak baik
10. tidak mengikuti perkembangan waqi (realita)

Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya “Islam dan pembinaan kepribadian” , menyebutkan keseimbangan sebagai bahan baku terlahirnya manusia yang kuat (jundullah). diantaranya adalah

1. Ruh, yang tidak ada pengetahuan tentangnya kecuali sedikit (QS.17:85),sebagai perantara manusia dengan Khaliqnya, dididik dengan beribadah.
2. Akal, Sebagai kekuatan untuk menerima ilmu pengetahuan. Merenung, berfikir dan menalar sesuai dengan perintah Al-Quran. (QS.38:29, dll). Keberadaanya menjadi syarat taklif (QS.17:36)
3. Fisik, sebagai eksekutor/ wadah dari ruh dan akal. Al-Qur’an menegaskan tentang kebutuhan jasmani, diantaranya :
- Kebutuhan pada makanan dan minuman (QS.7:31)
- Pada pakaian dan tempat tinggal (QS.16:80)
- Perkawinan dan keluarga (QS.23:5-7)
- Kekuatan dan kesehatan (QS.8:60)
- Kepemilikan (QS.18:46)
- Pekerjaan dan kesukaan (QS.7:129)
- Istirahat dan ketenangan (QS.2:185)
Menjadi manusia yang baik secara sosial, perlu membina kedua hal berikut:
4. Akhlak
5. Sosial

MENCARI HIDAYAH ALLAH
with 21 comments
Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.
(QS. Al-Fatihah [1]: 6)

Kata ihdinaa (tunjukkanlah kami) dalam ayat di atas merupakan bentuk kata perintah (fi’lu al-amr) dari kata hadâ-yahdii. Hadâ-yahdii sendiri artinya adalah memberi petunjuk kepada hal-hal yang benar. Kata hidayah merupakan bentuk fi’lu al masdar dari kata ini. Dalam Tafsir Munir karya Dr. Wahbah Az Zuhaily, hidayah ada lima macam. Satu hidayah ke hidayah yang lain bersifat hierarkis, di mana hidayah yang ada di bawahnya akan menyempurnakan hidayah yang ada di atasnya. Jadi semakin ke bawah maka semakin tinggi nilainya. Adapun kelima hidayah tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, hidayah ilhami. Hidayah ini adalah fitrah yang Allah SWT berikan kepada semua makhluk ciptan-Nya. Contohnya, Allah SWT memberikan hidayah ilhami kepada lebah yang suka hinggap di bunga untuk mengambil saripatinya, dapat membangun sarang yang menurut para ahli adalah desain yang paling sempurna berdasarkan fungsinya. Seorang bayi yang lapar diberi hidayah ilhami oleh Allah SWT untuk menangis dan merengek-rengek pada ibunya agar diberi ASI. Siapakah yang mengajari lebah dan bayi tadi untuk melakukan hal tersebut? Tentunya kita yang beriman kepada Allah SWT akan menjawab: itulah kekuasaan Allah SWT yang telah memberikan hidayah ilhami kepada makhluk-Nya. Semua makhluk yang diciptakan Allah SWT akan menerima hidayah ini. Dalam bahasa kita, hidayah ilhami ini adalah insting, yang merupakan tingkat inteligensi paling rendah.
Kedua, hidayah hawasi. Hidayah hawasi adalah hidayah yang membuat makhluk Allah SWT mampu merespon suatu peristiwa dengan respon yang sesuai. Contohnya adalah, ketika manusia mendapatkan kebahagiaan maka ia akan senang dan jika mendapatkan musibah maka ia akan sedih. Dalam istilah kita, hidayah hawasi ini adalah kemampuan inderawi.
Hidayah hawasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Maka respon yang ditimbulkan dari sebuah peristiwa sangat tergantung dengan lingkungan kita. Jika lingkungan itu normal maka respon kita akan normal. Misalnya, orang yang mendapatkan musibah akan sedih karena lingkungannya mengajarkan untuk merespon peristiwa tersebut dengan bersedih. Di lain tempat dan waktu mungkin saja respon ini berubah karena lingkungannya merespon dengan hal yang berbeda. Maka untuk mendapatkan hidayah hawasi ini kita harus membuat atau mengondisikan agar lingkungan kita normal alamiah.
Ketiga, hidayah aqli (akal). Hidayah akal adalah hidayah yang diberikan khusus pada manusia yang membuatnya bisa berfikir untuk menemukan ilmu dan sekaligus merespon peristiwa dalam kehidupannya dengan respon yang bermanfaat bagi dirinya. Hidayah akal akan bisa kita miliki manakala kita selalu mengambil pelajaran dari segala sesuatu, segala peristiwa, dan seluruh pengalaman hidup kita ataupun orang lain. Allah SWT berfirman:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan bagi mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai wawasan”. (QS. Al-Hasyr [59]: 2).
Yang dimaksud dengan ahli Kitab dalam ayat ini ialah orang-orang Yahudi Bani Nadhir pada masa Nabi Muhammad SAW di Madinah. Merekalah yang mula-mula dikumpulkan untuk diusir keluar dari Madinah karena mereka mengingkari Piagam Madinah.
Ayat ini memerintahkan kita untuk senantiasa mengambil hikmah dan ‘ibroh dari segala kejadian dalam kehidupan ini, dengan harapan kita tidak terjebak pada permasalahan yang sama. Hidayah akal ini akan bekerja dengan ilmu yang diperoleh, dari proses pembelajaran kehidupan yang telah dilakukan, yang kemudian digunakan untuk memilih respon yang terbaik bagi diri di masa mendatang. Semakin banyak kita mengambil pelajaran maka semakin tinggi kualitas hidayah akal kita.
Namun Hidayah akal ini mempunyai keterbatasan dalam menyeragamkan respon terhadap sebuah kejadian untuk seluruh manusia. Ada pepatah “lain ladang, lain pula belalangnya. Lain kepala, lain pula isinya.” Mungkin respon tertentu baik menurut kita, akan tetapi belum tentu baik menurut orang lain. Maka diperlukan sebuah standar untuk menyeragamkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hak dan mana yang batil. Jawaban untuk hal ini ada pada tingkatan hidayah selanjutnya.
Keempat, hidayah dien (agama). Hidayah agama adalah sebuah panduan ilahiyah yang membuat manusia mampu membedakan antara yang hak dan yang batil, antara yang baik dan yang buruk. Hidayah agama ini merupakan standard operating procedure (SOP) untuk menjalani kehidupan. Tentunya yang membuatnya adalah yang Maha segala-galanya, yang menciptakan manusia itu sendiri, yaitu Allah SWT. Karena yang Allah SWT tentukan, pastilah itu yang terbaik. Allah SWT berfirman :
”…. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216).
Maka apa saja yang ditentukan oleh agama, pastilah itu yang terbaik untuk kita. Hidayah agama ini bisa kita peroleh manakala kita selalu belajar dan memperdalan agama Islam ini.
Seperti Allah SWT tegaskan dalam Alqur’an:
”Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (Dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran [3]: 79).
Semua orang mampu mempelajari agama ini (Al Qur’an dan As Sunnah), akan tetapi tidak semua orang berkemauan untuk mengamalkan agama ini. Kemauan untuk mengamalkan agama akan berbanding lurus dengan sejauh mana kita bisa manggapai hidayah taufiq.
Kelima, hidayah taufiq. Hidayah taufiq adalah adalah hidayah yang membuat manusia hanya akan menjadikan agama sebagai panduan hidup dalam menjalani kehidupannya. Hidayah taufiq ibarat benih yang Allah SWT semaikan di hati yang tidak hanya bersih dari segala hama penyakit, tetapi juga subur dengan tetesan robbani. Bersih dan suburnya hati akan terlihat dari pohon-pohon kebaikan dan amal yang tumbuh di atasnya. Hanya kesungguhan yang akan membuat kita pantas menerima hidayah taufiq dari Allah SWT. Firman Allah SWT :
”Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29]: 69).
Maka tidak ada jalan lain agar kita mendapatkan Hidayah Taufiq Allah SWT, kecuali dengan jalan bersungguh-sungguh dan berjihad untuk menjalankan dan mengamalkan agama yang indah ini.
Penutup
Hidayah Allah SWT memerlukan perjuangan untuk mendapatkannya. Semakin besar perjuangan dan kesungguhan kita, maka insya Allah kita akan semakin mudah mendapatkannya, karena semuanya tergantung kepada usaha kita. Hidayah Allah SWT ibarat sinar matahari yang menyinari seluruh alam ini, dan kita adalah penerima sinar tersebut. Jika kita membuka diri dengan hati yang bersih maka kita akan mudah untuk mendapatkan sinar hidayah Allah SWT. Tapi jika kita menutupi hati dan diri kita dengan kotoran dan hama penyakit hati maka kita akan sulit untuk mendapatkan sinar hidayah-Nya.
Wallahu a’lam.

Sumber >>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar